Bagi penggemar sepakbola, nama Marco van Basten, tidaklah asing lagi di telinga kita. Marco van Basten adalah fenomena, legenda hidup bagi AC Milan, dan tim nasional Belanda. Van Basten adalah seorang “balerina” sepakbola, jika dicermati gerakannya sangat gemulai dan indah, namun sangat mematikan. Sebagai seorang striker, torehan gol-nya sangat meyakinkan, dengan 128 gol dalam 147 penampilannya bersama AC Milan. Perlu diingat dalam kurun waktu tersebut, persaingan sepakbola dunia, khususnya di Liga Italia sudah sangat ketat.
Secara individu, teknik Marco van Basten boleh dibilang lengkap. Ditunjang postur dan tinggi badan, van Basten punya sundulan yang oke, dan kedua kaki yang “hidup”. Anehnya tidak seperti striker-striker lain yang bertubuh tinggi, van Basten dibekali kemampuan dribbling yang yahud. Marco van Basten adalah pemain terakhir yang mampu merebut gelar pemain terbaik Eropa selama 3 tahun berturut-turut (1988-1991).
Bersama-sama dengan Frank Rijkaard dan Ruud Gullit, van Basten memperkenalkan kehebatan TRIO BELANDA, dan membawa AC Milan merajai Italia dan Eropa dengan merebut gelar 3 Scudetto ( Juara Liga Italia 87-88,91-92,92-93 ), 3 Piala Super Italia ( 88,92,93 ), 2 Piala Champions ( 88-89,89-90 ), 2 Piala Super Eropa ( 89,90 ), dan 2 Piala Interkontinental ( 89,90 ).
Untuk negaranya, Belanda dibawanya kepada gelar terhormat, Piala Eropa 1988. Pada saat itu Belanda dibawanya menjadi juara dengan menampilkan permainan menyerang dan attraktif, yang sampai saat ini terus dikenang sebagai Total Football.
Van Basten adalah pribadi yang santun, lahir di Utrecht pada tanggal 31 Oktober 1964, memulai karir di Ajax Amsterdam dan melanjutkannya di AC Milan, sampai akhirnya pensiun. Semasa karir sepakbolanya van Basten dikenal sebagai pemain bola yang tidak suka hingar binger dan minus dari gosip-gosip miring.
Antiklimaks dari karir van Basten terjadi pada tahun 1995, di mana beliau “dipaksa” untuk pensiun dini dari dunia sepakbola. Cedera tulang engkel yang tidak kunjung sembuh adalah penyebabnya. Namun jika dirunut kembali, “kekerasan” Liga Italia pada waktu itu lewat permainan kasar bek-bek seperti Vierchowod, Juergen Kohler, Bergomi, adalah penyebab utama cederanya sang “maestro” lapangan hijau tersebut. Dalam usia 31 tahub, van Basten seharusnya masih dapat “menikmati” hingar bingar sepakbola, namun apa daya, cederanya terlalu parah dan memaksanya keluar dari persepakbolaan jagat raya.
Gol voli Ajaib dari luar kotak penalti ketika melawan Uni Soviet pada final Piala Eropa 1988, merupakan mahakarya van Basten yang paling dikenang sampai saat ini, bahkan memperoleh penghargaan sebagai gol terbaik Abad ini. Akan tetapi kutipan sebuah harian olahraga Italia, pada saat van Basten memutuskan untuk pensiun, mungkin dapat menunjukkan kepada dunia, bagaimana perjalanan karir seorang Marco van Basten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar